Wednesday, 8 May 2013

Kecupan Terakhir untuk Bunda (2)

Sambungan  .  .  .  .  .


Keesokan harinya, Harum, Andin, dan Windy sedang dudk di kantin. Lalu seorang cowok datang mendekat. Cowok itu adalah Bayu, teman Arif. Ia datang untuk berterima kasih kepada Harum karena telah menolong Arif. Tapi Harum tidak terlalu menanggapinya. Bayu memperkenalkan dirinya kepada Harum, Andin dan Windy, begitu juga sebaliknya. Mereka memperkenalkan diri mereka kepada Bayu.
            Beberapa hari telah berlalu, dan seperrtinya Arif tidak lagi sakit. Saat menuju suatu tempat di kampus, Harum dan teman-temannya bertemu dengan Arif dan Bayu yang berada di depan mereka.
“Hei, kalian mau ke mana?” Bayu menyapa mereka bertiga.
“Kami mau ke perpustakaan.”Windy menjawab pertanyaan Bayu.
“Hei Rif itu Harum. Aku rasa kamu belum megucapkan terima kasih sama Harum.”Bayu menyuruh Arif berterima kasih kepada Harum.
Arif memandangi Harum, ia mempertimbangkan usul Bayu itu.
“He will never say thanks. Even to me, or anyone else. Because he is a man that will never say sorry to peoples.”Harum langsung meninggalkan Arif dan Bayu, dan teman-temannya di belakang mengikutinya.
“Wait!”Bayu memanggil mereka kembali.
Mereka pun terhenti.
“Ada apa?”Andin berbalik arah.
“Bagaimana kalo kalian besok datang di lapangan basket di dekat kampus ini? Kami akan bertanding, aku dan Arif akan bertanding.”
“Oh, kami akan mempertimbangkan itu.”
Setelah itu mereka menuju ke tempat tujuan mereka masing-masing.
            Hari ini adalah hari minggu. Sudah jam 07.00 pagi tapi Harum masih tidur di kamarnya. Bunda mencoba untuk membangunkan Harum. Beberapakali beliau mengetok pintu kamar Harum, tapi Harum belum juga bangun. Bunda kembali membangunkan Harum.
“Harum, bangun cepat! Ini sudah jam tujuh lewat. Kamu ini, kayak anak kecil aja. Kamu harus bantu bunda juga dong, bantu kemas-kemas, bantu masak. Cepat bangun!”
“Tapi bunda, Harum masih ngantuk.”
“Bangun sekarang!”
Harum bangun dari tempat tidurnya dan langsung mandi. Setelah itu ia membersihkan rumahnya. Ketika Harum sedang mengepel, Hpnya berdering, Andin menelponnya. Andin mengajak Harum untuk menyaksikan pertandingan basket, tapi Harum menolak. Setelah selesai mengerjakan pekerjaan rumah,  Harum duduk termenung tak tau apa yang ingin ia lakukan.
“Huh, ngapain aja nih? Masa’ aku juga harus nonton sih. Kalo yang main bukan Arif mau juga aku nontonnya. Tapi, bosan ah di rumah.” Harum memutuskan untuk pergi nonton pertandingan tersebut.
            Sesampainya di sana, ia pergi duduk di dekat Andin dan Windy.
“Katanya gak mau pergi.”Andin menegur.
“Bosen di rumah.”
Ketika pertandingan berlangsung, banyak penonton yang berteriak untuk mendukung tim mereka. Harum yang duduk itu turut menyaksikan dengan seksama. Lalu ia berkata dalam hati,”Arif ganteng juga ya. Apalagi waktu dia main. Huh, apa yang kupikirkan sih.”
Sesekali pertandingan berhenti sejenak, terlihat Bayu danWindy saling melambai.
“Udah main lambai-lambaian nih cceritanya?Andin berkata.
Windy hanya tersenyum mendengar pernyataan temannya itu. Pertandingan pun berakhir dan tim Bayu dan Arif memenangkan pertandingannya.
            Seusai pertandingan, Arif, Bayu, Andin, dan Windy berkumpul di tepi lapangan basket. Windy memberikan satu botol air minum untuk Bayu. Dengan senang, Bayu menerimanya. Mereka berbincang-bincang sejenak, dan tampak tidak ada Harum di situ. Harum pergi ke warung makan sebelah. Lalu Arif meninggalkan mereka, ia mau pergi ke warung makan yang ada di sebelah agak jauh dari tempat pertandingan.Arif mencari tempat duduk  yang cukup, tapi tidak ada yang kosong. Karena kebetulan banyak penonton yang nonton, jadi banyak orang yang makan di tempat itu, karena tempat itu adalah warung terdekat dengan tempat pertandingan. Tapi ia melihat tempat kosong yang hanya diduduki oleh seorang wanita. Tapi, setelah ia melihat wanita itu, ternyata Harum.
“Apakah aku harus duduk di dekatnya? Hah, mana perutku lapar lagi.”
Secara tiba-tiba Arif duduk di tempat yang sama dengan Harum.
“What are you doing here?”Harum terkejut.
“Emang gak boleh, ini bukan tempat duduk kamukan?”
“Udah datang entah dari mana, ngomongnya lagi gak sopan. Dasar!
“Kamu pikir aku mau duduk di sini? Look at around you! There’s no chair for me. Aku terpaksa.”
            Setelah semua selesai, mereka semua pulang. Harum sedang duduk di halte menunggu bis yang akan membawanya pulang. Sebuah mobil datang ke halte tersebut. Lalu keluar seorang pria, Arif.
“Di mana sepeda motor bututmu itu?”
“Not your bussiness.”
“Come with me, I’ll send you.”
“What?”
“Yaa, dari pada kamu nunggu gak tentu kayak gini.”
“Kamu mimpi apa sih semalam?”
“Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya ingin membalas budimu. Aku gak suka punya hutang.”
“You don’t have to pay it.”
“Cepat masuk ke dalam mobil!”
“Kalo aku gak mau?”
Arif langsung memegang tangan Harum dan menyeretnya masuk ke dalam mobil. Harum mencoba untuk melawan. But, she just a girl.
            Dalam perjalanan mereka tidak bicara sama sekali. Mereka pun tiba di rumah Harum.
“How do you know where is my house?”
“Bukannya kamu sendiri yang nulis alamat rumahmu di buku catatanmu itu. Sudah, keluar sana dari mobilku!”
“Siapa juga yang mau lama-lama di dalam mobilmu.”
Harum keluar dari mobil Arif dan menyaksikan Arif pergi dengan mobilnya.
Sang bunda yang berdiri di depan pintu tersenyum kepada Harum.
“Pacar?”
“Bukan bunda. Amit-amit deh.”
“Kalo  bukan pacar, teman?”
“Bukan bunda?”
“Bukan pacar, bukan teman, lalu apa dong? Musuh?”
“Bisa dikatakan seperti itu sih bunda.”
“Kalo musuh kok mau nganter, dan kamu kok mau diantar?”
“Gak tau.”
            Beberapa semester telah mereka lalui. Dan terdengar kabar orang tuanya Arif tidak jadi bercerai.  Mereka berlima sering terlihat bersama, bisa dikatakan mereka telah menjadi teman. Arif dan Bayu pun sering terlihat bersama, Arif sering mengantar Harum pulang walaupun mereka sering bertengkar. Besok adalah ulang tahun bunda yang ke-39, Harum mengundang teman-temannya.
“Besok ultah bunda aku, jadi aku mau kalian datang.”
“Pasti. Kita berdua bakal kasih bunda kamu hadiah yang the best. Bener gak Win?”
“Bener tu, lagi pula bunda kamu tu kayak bunda kita juga. Arif sama Bayu kamu undang gak?”
“Mmm, gak usah.”
“Kok gak usah sih? Mereka kan temen kita juga.”
“Pendapatku mereka bukan temen kok.”
“Kamu kok gitu sih sama mereka. Bayu kan pacar aku.”
“Iya. Aku bercanda aja kok. Santai aja kali”
            Malam ini pesta pun dilaksanakan, ultah  bunda sangat meriah malam ini. Bunda berbicara di depan banyak orang mengucapkan terima kasihnya. Dan ia mempersilakan para tamu untuk menikmati hidangan yang telah di siapkan. Beliau juga berterima kasih atas hadiah yang telah beliau terima. Para tamu sangat menikmati hidangannya. Ketika mereka semua sedang makan, tampak di situ bunda Harum dan orang tua Arif ngobrol, mereka kelihatan sangat akrab.
“Apa sih yang dibicarakan bunda sama parentsnya Arif?”
“Mau ngejodohin kalian kali.” Andin menjawab dengan santainya.
“What! Amit-amit deh.”
Pesta telah punberakhir, tamu pun sudah pulang semua. Bunda dan Harum membawa kado-kado itu ke dalam kamar bunda.
“Apa bunda mau buka semua kado sekarang?”
“Iya dong, kapan lagi.”
“Dari aku dulu dong bunda yang dibuka!”
“Iya.”
Bunda membuka kado dari Harum. Ternyata Harum menghadiahkan bunda sebuah jam tangan yang berwarna keemasan. Sang bunda sangat menyukainya. Lalu bunda membuka hadiah dari Arif dan isinya adalah sepasang sepatu berhak yang tidak terlalu tinggi. Kado dari Andin yaitu sehelai gaun pesta berwarna merah hati yang agak menguncup di bagian bawahnya. Kado dari Windy yaitu obat trdisional dari ginseng yang ayahnya dapatkan dari Cina, baik untuk kesehatan. Kado dari orang tua Arif yaitu sebuah lukisan yang berukuran dan berbingkai besar yang menceritakan keindahan ciptaa Allah Yang Maha Kuasa. Lalu kado dari Bayu yaitu syal berwarna ungu. Setelah kado dari Bayu itu dibuka, sang bunda merasa pusing. Harum langsung menyuruh bunda istirahat dan tidur. Ketika sang bunda tertidur Harum memandangi bunda yang menua itu.
            Keesokan harinya, bunda yang berada di rumah merasa pusing lagi dan ingin pingsan. Bunda segera beristirahat di kamarnya. Dengan segera juga bunda pergi ke rumah sakit ingin mengetahui keadaannya. Dokter memeriksa bunda dengan seksama dan memperhatikan segala sesuatu yang mungkin menjadi penyebabnya. Setelah diperiksa, bunda menunggu di ruang tunggu. Tidak lama kemudian dokter datang dari sebalik pintu yang berwarna putih itu.
“Dok, bagaimana dengan hasilnya?”
“Penyakit ibu ini tidak bisa dibiarkan.”
“Maksudnya Dok?”
“Ibu sedang mengidapi penyakit yang berbahaya dan harus di atasi dengan cepat. Ibu sedang mengidapi penyakit Laukimia.”
“Leukimia?”
“Iya. Kami meminta ibu untuk segera diperiksa agar leukimia ibu tidak menjadi parah sebelum terlambat.”
Bunda sangat terkejut mendengar berita ini. Ini merupakan berita yang buruk baginya, dan beliau tidak akan memberitahukannya kepada Harum. Beliau tidak ingin Harum khawatir dengan keadaannya.
            Sekali lagi Arif ingin mengantar Harum pulang. Dan Harum mencoba untuk menolak.
“Aku anter kamu.”
“Enggak ah, terlalu sering. Aku gak mau punya banyak utang sama kamu. Nanti kamu tagih lagi, kamu kan gak bisa dipercaya.”
“Bakal gak ada utang-utangnya, percaya deh.”
“Ih, nekat deh. Kenapa sih?”
“Jangan GR ya, aku cuman mau ketemu sama bunda kamu kok. Is that wrong? Udah cepat masuk! Susah deh!”
Arif pun mengantar Harum pulang. Sesampainya  di rumah Harum. Mereka berdua masuk ke rumah. Tapi bunda sepertinya tidak ada di rumah. Harum mencari bunda di seluruh ruangan yang ada di rumah, tapi bunda tidak ada di rumah. Harum sempat khawatir. Arif menyuruh Harum untuk menghubungi bunda. Tapi, terdengar bunyi mobil di luar dan bunda keluar dari mobil taksi itu.
“Bunda dari mana?”
“Bunda? Oh, bunda tadi . . .bunda tadi dari klinik.”
“Dari klinik? Bunda sakit apa?”
“Bunda gak sakit apa-apa, kamu jangan khawatir. Bunda mau periksa soalnya bunda sering pusing. Ternyata bunda hanya kecape’an. Oh ada nak Arif.”
“Siang tante.”
Mereka berbincang-bincang di ruang tamu, setelah itu Arif pulang. Bunda meminta Harum untuk mengantar Arif sampai ke luar, tapi Harum menolak dengan banyak alasan. Bunda memaksa Harum dengan alasan bahwa Arif sudah sering mengantarnya pulang. Harum mengantar Arif sampai keluar.
“Kenapa cemberut? Kalo gak mau ngantar aku, ya udah gak usah.”
“Bukan.”
“Tentang tante? Kamu jangan berpikir yang negatif, pokoknya berpikirlah positif ya. Bunda kamu pasti gak apa-apa.”
            Pada malam harinya Harum duduk di taman sendirian termenung seperti memikirkan sesuatu. Tanpa disengaja Arif juga berada di taman tersebut sedang berjalan-jalan sambil mendengarkan lagu yang ia dengarkan dengan memakai earpiece. Ia melihat Harum yang sedang duduk di kursi taman panjang itu. Ia tersenyum melihat Harum dan langsung mendekati Harum.
“Ternyata puteri kodok jelek sekali ya kalo lagi cemberut, tapi udah sering sih ngelihatnya.”
“Arif, ngapain kamu ke sini? Muncul tiba-tiba kayak hantu aja. Aku tu heran deh kenapa sih kamu ada di mana-mana?”
“Itu tandanya di situ ada kamu, di situ ada aku. Jangan-jangan kamu lagi mikirin aku ya? Atau jangan–jangan kamu selalu bawa aku ke mana-mana ya?”
“Apaan sih, ngomong tu to the point aja.”
“Ya iya, kamu selalu bawa aku ke mana aja di dalam hati kamu.”
“Ngacok deh.”
“Hem. . . Mikirin apa sih? Bunda? Aku kan udah bilang do not think negative, just think about positive thing.”
“I’m trying but I can’t.”
“Apa kamu gak percaya apa yang bunda kamu bicarakan kemarin?”
“Iya aku percaya tapi . . . ada hal lain.”Harum mengiyakan perkataan Arif walaupun yang ia pikirkan adalah hal lain yang ia sembunyikan dari semua orang.
“Hal lain? I am not gonna ask you what is it. Udah terlalu malam nih, mendingan kita pulang aja yuk.”
Arif pun mengantar Harum pulang. Harum berterima kasih kepada Arif. Arif yang masih di mobilnya menunggu Harum masuk ke dalam rumahnya, setelah itu baru ia pergi.
            Di kampus, sebagian pada hari sabtu anak-anak kuliahan ada yang sibuk dan ada juga yang gak sibuk. Untuk hari sabtu bagi Harum dan teman-temannya bukanlah hari sibuk bagi mereka untuk mengerjakan tugas dari dosen.
“Bunda aku kok aneh ya kebelakangan ini?”
“Aneh? Maksudnya?” Andin yang sedang makan itu bertanya.
“Iya, bunda tu kayak berubah gitu. Dia tu sering nasehatin aku.”
“Bunda kamu berubah? Bukan bunda kali yang berubah, tapi kamunya kali yang berubah.”Windy menyambungi pembicaraan.
“Kok aku sih? Ngapain juga aku berubah.”
“Mungkin kamu lagi jatuh cinta.”
“Jatuh cinta? Sama siapa?”
“Sama Arif.”
“Ih gila kali kamu.”
“Habis, kami sering melihat kalian itu jalan berdua. Iyakan Din?”
“Iya benar.”
            Hari ini tidak disangka-sangka Arif mengajak Harum dan bundanya jalan-jalan ke mall. Harum agak terkejut tapi, ia dan bundanya menerima ajakan Arif. Mereka belanja macam-macam barang. Ketika Harum sedang memilih-milih barang, Arif mengajak bunda bicara agak jauh dari Harum.
“Tante, kira-kira hadiah apa yang bakal Harum suka jika aku kasih dia?”
“Jadi kamu kamu mau ngasih Harum hadiah ni?”
“Iya, gitu deh ceritanya tante.”Arif sesekali melihat Harum dari jauh. Tapi Harum hilang dari pandangannya.
“Harumnya mana Tante?”
“Harum? Lho tadikan ada di situ.”
“Mungkin dia lagi jalan cari barang lagi kali ya?”
“Iya sih. Tapi, kok tante rasanya gak enak gitu.”

Bersambung  .  .  .  .  . (Maaf  Ya)
Aku harap dibaca aja sih
By : Uswatun Hasanah

No comments:

Post a Comment