Wednesday, 8 May 2013

Kecupan Terakhir untuk Bunda (3)

Sambungan .  .  .  .  .
Kali ini selesai readers   :)


Di rumah Arif, telepon rumah berdering. Dan Papa Arif yang menjawab.
“Halo siapa?”
“Anda pasti ayahnya Arifkan?”
“Iya, ada apa ya?”
“Pacar anak anda berada di tangan saya sekarang, kami menculiknya.”
“Apa? Pacar anak saya?”
“Saya minta tebusan, nanti jam 10 malam akan saya telpon lagi.”
Papa Arif langsung menelpon Arif.
“Halo Arif.”
“Halo Pa.”
“Arif, tadi papa nerima telpon dari orang asing. Katanya pacar kamu itu diculik.”
“Pacar? Diculik? Harum.”Arif langsung menutup telpon.
“Tante ayo kita pergi!”
“Tapi ke mana?”
“Kita harus pergi sekarang tante.”
“Tapi bagaimana dengan Harum?”
“Masalah ini berkaitan dengan Harum. Kita harus pergi sekarang!”
“Apa?”
Mereka berdua bergegas ke rumah Arif.
            Sesampainya di rumah Arif, sudah ada beberapa polisi di situ.
“Papa!”Arif memanggil papanya.
“Arif. Papa rasa yang orang asing sebut itu adalah Harum.”
“Arif juga punya pikiran seperti itu. Apa yang mereka mau?”
“Tentu saja uang dan jumlahnya sebesar 5 milyar.”
“5 milyar?”
Tiba-tiba telepon rumah berbunyi lagi. Papa Arif langsung menjawabnya, dan benar dugaan papa Arif bahwa yang menelpon adalah penculik itu. Arif merampas telepon dari ayahnya.
“Apakah kamu sudah menyiapkan uangnya?”
“Di mana Harum?”
“Oh, kamu pasti Arif kan? Haha Harum akan baik-baik saja jika uangnya juga sudah siap.”
“Aku mau ngomong sama dia.”
“Oh, jadi kamu gak percaya? Okey.”
“Arif tolongin aku!”suara Harum agak sulit untuk didengar.
“Sabar ya Rum, aku pasti bakalan nyelamatin kamu.”
“Udah ngomongnya! Ingat, besok di depan gedung yang tidak terpakai di dekat danau jam 8 pagi. Sendirian, tanpa polisi. Jika ada walau satupun polisi aku lihat, pacar kesayanganmu ini akan pulang tanpa kepala haha.”
“Jika sesuatu terjadi pada Harum, kamu bakalan mati!”
“Ancaman yang bagus! Haha.”si penculik langsung menutup telpon.
Ketika mereka sedang berbicara di telpon, polisi melacak keberadaan si penculik dengan alat pelacak melalui saluran telpon tadi dan usaha itu berhasil. Polisi akan melakukan operasi di gedung di dekat danau tersebut malam ini.
            Tiba-tiba bunda Harum pingsan. Semua panik, dengan segera beliau dibawa ke rumah sakit. Mama Arif menemani bunda Harum di rumah sakit. Dokter memeriksa bunda Harum dan mengetahui bahwa bunda Harum terkena penyakit leukimia. Mama Arif segera menelpon Arif dan memberitahukan keadaan bunda Harum. Arif syok mendengar berita tesebut, ia benar-benar tidak menyangka.
“Arif, kamu harus tabah.”
“Iya Pa. Pa aku akan ikut polisi melakukan operasi ini.”
“Tidak, kamu tidak boleh ikut.”
“Tapi Pa, Harum ada di sana, dan dia butuh aku.”
“Terlalu berbahaya Rif.”
“Papa please, biarkan aku pergi.”
“Baiklah, hati-hati.”
“Makasih Pa. Bilang sama tante, aku akan membawa Harum pulang dengan selamat.”
Mereka pun pergi dengan peralatan yang lengkap.
            Di lokasi penyerbuan, gedungnya memang terlihat kosong. Tapi ada cahaya lampu di dalam gedung tersebut. Satu demi satu penjaga gedung tersebut di lumpuhkan. Beberapa polisi dan Arif akan naik ke tingkat 3, tapi ada sebuah ruangan yang mencurigakan bagi Arif. Dengan sendirinya ia mendekati ruangan tersebut. Ia mendengar suara seorang pria dan wanita sedang tertawa, seperti sedang merayakan kemenangan.
“Bagus, sepertinya rencana kita berhasil.”pria itu berkata.
“Iya, kamu benar. Sebentar lagi kita bakal kaya.”wanita itu berkata penuh rasa gembira.
“Ternyata mereka mudah sekali di bohongi ya.”
“Iya. Sangat mudah, mereka tidak mencurigaiku sama sekali.”
Arif mencurigai suara wanita tersebut seperti suara Harum. Ia mengintip di sebalik pintu. Dan ternyata benar dugaannya, Harum memang berkomplot dengan penculik tersebut. Ia sebenarnya tidak diculik, tapi telah menipu semua orang termasuk bundanya sendiri. Arif sangat syok, ia hampir saja menangis. Tiba-tiba ada orang yang menepuk bahunya. Ia terkejut, ternyata polisi yang sedang ingin mendobrak pintu ruangan tersebut.
“Biar kami saja.”seorang polisi yang mendorong Arif dengan pelan menjauh dari pintu.
Arif tersandar di dinding.
“Lepaskan saya, lapaskan saya!”harum berteriak kepada polisi.
Harum terkejut saat di hadapannya ada Arif.
“Arif!”Harum menyebut nama Arif dengan pelan.
“Aku . . . Aku kecewa sama kamu Rum. Aku kecewa banget sama kamu.”
            Lalu Harum dibawa dulu ke rumah Arif. Di sana sudah ada sang bunda yang menunggu Harum. Bunda heran mengapa harum diborgol, begitu juga dengan Papa dan Mama Arif.
“Harum, mengapa kamu diborgol nak? Pak Polisi, mengapa Anda memborgol anak saya? Arif, apa yang sebenarnya terjadi?”
“Harum sudah menipu kita semua, dia sebenarnya tidak diculik, tapi bersekongkol dengan penjahat itu hanya untuk uang 5 milyar.”
“Harum, apakah itu benar? Harum, jawab Bunda Nak! jawab Bunda!”
“Iya, itu benar. Bunda tau gak mengapa Harum menjadi kayak gini? Ini karena Bunda. Bunda gak pernah ngertiin perasaan Harum. Setelah ayah meninggal pun Bunda tidak pernah negrtiin Harum. Harum perlu perhatian dari Bunda, Bunda gak pernah ngasih lebih untuk Harum, Bunda gak manjain Harum, gak kayak Papa dulu. Bunda jahat!”
“Harum cukup! Kamu itu sedang berbicara dengan ibumu sendiri, kamu sadar gak sih? Kamu itu hanya mementingkan perasaanmu saja, apa pernah kamu ngertiin perasaan Bunda kamu? Pernah? Kamu tau sekarang Bundamu sedang sakit apa? Kamu tau? Bundamu sedang terkena penyakit leukimia, bahkan kamu tidak tahu itu.”Arif mengeluarkan emosinya terhadap Harum.
“Apa? Bunda, itu gak bener kan? Itu cuma untuk nakut-nakutin Harum kan? Bunda?”
Sang Bunda hanya menangis terduduk dan kelihatan tak berdaya di depan anaknya.
“Bunda, maafkan Harum! Sebenarnya Harum juga gak ingin ini terjadi. Bunda, maafin Harum, Bunda! Maafin Harum!”
Harum dipaksa pergi ke kantor polisi.
            Setelah beberapa hari, Harum diputuskan masuk penjara. Dan Bundanya masuk ke rumah sakit. Arif dan keluarganya hendak membiayai pengobatan  Bunda Harum sampai sembuh. Tapi, Bunda Harum menolak.
            Beberapa tahun berlalu, kini saatnya Harum keluar dari penjara. 2 temannya hendak menjemputnya, yaitu Andin dan Windy.
“Harum, kami ke sini ingin membawamu pulang.”Andin berkata pelan kepada Harum di kantor polisi.
“Kenapa sih kalian masih baik sama aku? Padahal aku ini adalah orang jahat. Aku udah jahat sama kalian, sama Arif, bahkan sama bunda aku sendiri.”
“Walau bagaimanapun kamu, kamu tetap teman kita Rum. Iya kan Din?”
“Iya, itu benar. Sekarang kita langsung ke rumah sakit ya.”
“Rumah sakit? Apa bunda makin parah keadaanya?”
“Kamu lihat aja deh ya. Kamu akan tau sendiri kok, kamu jangan khawatir ya.”Andin menenangkan Harum.
Meraka langsung berangkat menuju rumah sakit.
            Sang bunda yang berbaring di salah satu ruangan rumah sakit itu menunggu kedatangan anaknya. Penuh harapan bahwa anaknya sudah berubah, penuh harapan kalau anaknya pulang dengan badan yang sehat. Tiba-tiba ada yang membuka pintu kamar sang Bunda. Berdirilah 3 orang gadis yang salah satunya tampak sangat lesu dan tak ada semangat. Harum langsung memeluk Bundanya sambil menangis dan meminta maaf. Sang Bunda membalas pelukan Harum dengan pelukan yang hangat juga sambil menangis. Andin dan Windy tak tahan membendung air mata melihat pertemuan antara Harum dan Bunda ini. Andin dan Harum keluar dari kamar membiarkan Harum dan Bundanya berbicara.
“Bunda, maafkan Harum. Selama ini Harum udah jahat sama Bunda. Harum gak tau harus ngelakuin apa untuk menebus dosa-dosa Harum sama Bunda.”
“Sudahlah Harum, Bunda sudah memaafkanmu nak. Jangan salahkan dirimu terus-menerus. Yang penting sekarang, minta ampunlah kepada Allah Yang Maha Kuasa, masih tidak terlambat kok nak.”
“ Iya Bunda. Harum akan bekerja dan mendapatkan banyak uang supaya dapat menyembuhkan Bunda.”
            Sudah beberapa hari Harum menjenguk Bundanya dan ia pun mendapat pekerjaan, yaitu sebagai pelayan di sebuah rumah makan. Tidak Harum sadari ternyata Arif juga sering menjenguk sang Bunda. Tapi mereka tidak bertemu, hingga pada hari ini. Harum sedang menyuapi Bundanya makan. Arif yang ingin menjenguk Bunda terkejut melihat Harum ada di sini. Ia tidak jadi masuk ke kamar, tapi ia menunggu di kursi yang ada di luar kamar. Harum keluar dari kamar hendak membelikan Bundanya cemilan yang sehat. Harum terkejut melihat Arif berada di depannya. Mereka saling memandang. Di tengah keheningan itu, Harum langsung pergi dan Arif menyusulnya.
“Harum! Harum! Mengapa kamu menhindariku Harum?”
“Aku rasa kamu tau apa penyebabnya. Aku benar-benar malu kepadamu, aku merasa orang yang sangat hina di depanmu. Kamu seharusnya marah sama aku Arif.”
“Aku berusaha untuk melupakan kejadian yang sudah lama berlalu. Harum, kamu jangan khawatir, aku tidak akan membencimu, aku tidak akan marah sama kamu. Karena aku tau kamu sudah berubah.”
“Maafkan aku Arif, aku benar-benar minta maaf!”
“Sudahlah, anggap saja kita baru kenalan. Lupakan saja masa dulu, tidak bagus untuk masa depan.”
Mereka berdua sudah saling berbaikan.
            Kondisi Bunda semakin parah. Sesekali Arif menawarkan bantuan tapi ditolak oleh Bunda dan juga Harum. Mereka tidak ingin menyusahkan keluarga Arif lagi. Suatu hari Arif mengajak harum pergi ke sebuah tempat yang sejuk dan tenang. Di sana Arif ingin mengatakan sesuatu yang penting kepada Harum.
“Ngapain kita ke sini?”Harum bertanya heran.
“Kamu memang gak akan bisa menebaknya.”
“Ya sudah, katakan saja.”
“Tapi kamu gak akan marah ya.”
“Mana mungkin aku marah sama kamu, kan kamu yang seharusnya marah sama aku. Udah, katakan saja!”
“Harum maukah kau menjadi isteriku yang sah?”Arif megatakan pernyataan yang mengejutkan Harum sambil manunjukkan sebuah cincin emas.
Harum terkejut dan terdiam sesaat.  Ia sangat tidak menyangka bahwa Arif akan melamarnya. Arif menunggu jawaban Harum yang sedang tercengang itu.
“Tidak . . . Tidak. Kamu gak bisa Rif. Bagaimana bisa aku menjadi isterimu padahal aku sudah berbuat hal-hal yang jahat kepadamu. Arif, kamu harus sadar! Apa yang udah aku lakuin sama kamu. Tolong, jangan mempersulit keadaan lagi Rif!”
“Aku tidak mempersulit, tapi aku ingin membuat hubungan kita lebih baik. Aku sudah bilang sama kamu, aku udah ngelupain semuanya.”
“Tapi gak semudah itu Rif.”
“Itu karena aku sayang sama kamu Harum. Aku sangat sayang sama kamu. Aku merasakan perasaan ini sudah lama sekali, aku sangat tersiksa saat kamu meninggalkan aku untuk beberapa tahun. Beberapa tahun itulah aku menunggu kedatanganmu kembali dan ingin menjadikanmu sebagai isteriku. Aku sudah memikirkan ini matang-matang. Bukankah ini juga menjadi berita gembira untuk Bundamu? Aku yakin tante pengen sekali melihat kamu menikah. Menikahlah denganku, aku butuh jawabanmu Harum!”
Harum memandangi Arif sambil menangis. Ia terharu, lelaki yang ia cintai sangat tulus mencintainya tanpa memandang keadaannya.
“Kamu janji, kamu gak akan ninggalin aku kan?”Harum berkata kepada Arif sambil menangis.
“Aku janji, aku gak akan ninggalin kamu. Aku akan menjadi teman hidupmu, suamimu, dan kekuatanmu.”
Akhirnya Harum menerima Arif.
            Kini mereka sedang membicarakan hal ini kepada orang tua mereka. Sang Bunda sangat bahagia mendengar kabar ini. begitu juga dengan orangtua Arif menerima Harum apa adanya. Tema-teman Harum dan teman Arif juga senang mendengar kabar ini. Kini akad nikah sudah ditentukan.
            Hari yang ditunggu-tunggu sudah tiba. Hari istimewa untuk Harum, Bunda, Arif dan orang di sekitar mereka. Pernikahan ini tidak diadakan secara besar-besaran. Harum memakai kebaya pengantin berwarna putih yang sangat cantik. Arif memakai tuxedo yang macho dan kelihatan sangat tampan. Sang Bunda yang dibawa dengan kursi roda juga memakai kebaya yang berwarna cokelat. Ijab kabul sudah pun dilaksanakan. Arif dan Harum bergilir bersalaman kepada orang tua mereka.
“Bunda, saya janji akan menjaga Harum untuk seumur hidup saya. Saya berjanji akan membahagiakan Harum. Saya akan bikin dia menjadi isteri yang paling bahagia di dunia ini.”
“Terima kasih nak Arif, hatimu sangat mulia. Bunda percaya sama kamu.”sang Bunda berkata dengan napas terputus.
“Bunda, Harum minta maaf atas segala-galanya. Harum minta maaf dari ujung kaki sampai ujung rambut. Harum janji, Harum akan menjadi isteri yang baik, seperti Bunda.”
“Iya, Bunda maafin kesalahan kamu nak. jadilah isteri yang baik, ibu yang baik, orang yang baik kepada siapapun nanti. Bunda sayang sama kamu nak.”
“Harum juga sayang kepada Bunda.”
Harum mencium tangan Bundanya lalu mengecup kening Bundanya dalam waktu yang agak lama. Saat itu sang Bunda mengucap nama Allah lalu melepaskan napas terakhirnya di bumi. Harum melepas kecupannya dan melihat Bundanya yang sudah memejamkan mata dengan sangat tenang. Harum menangis memeluk Bundanya, semua terharu melihat kejadian ini. Hari pernikahan mereka juga merupakan hari meningglnya Bunda Harum. Harum selalu berdoa agar Bundanya ditempatkan di tempat orang-orang mukmin.

THE END

Akhirnya selesai, sedih jika gak dibaca
Tapi tak apalah , gambate uswatuuun !!!!!

No comments:

Post a Comment